Siapa Itu Anak Yatim?

Siapa Itu Anak Yatim? Hak, Tanggung Jawab, dan Keutamaan Menyantuni

11/08/2025 | HUMAS BAZNAS

Dalam ajaran Islam, anak yatim memiliki kedudukan yang sangat mulia. Mereka adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya sebelum mencapai usia baligh. Kehilangan seorang ayah bukan hanya berarti kehilangan sosok pelindung dan pencari nafkah, tetapi juga kehilangan bimbingan dan kasih sayang yang menjadi pilar utama kehidupan. Status yatim itu sendiri berakhir ketika sang anak memasuki usia baligh, biasanya sekitar 12–15 tahun, tergantung tanda-tanda kedewasaan yang muncul.

Islam memandang anak yatim sebagai amanah besar. Allah berulang kali menegaskan dalam Al-Qur’an agar umat Islam menjaga, memuliakan, dan tidak berlaku zalim terhadap mereka. Firman-Nya dalam QS. Ad-Dhuha: 9, “Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang,” menjadi pengingat abadi akan kewajiban tersebut. Bahkan, dalam QS. Al-Ma’un, mengabaikan anak yatim disebut sebagai salah satu ciri pendusta agama.

Rasulullah ? pun memberikan motivasi yang sangat kuat. Beliau bersabda, “Aku dan orang yang memelihara anak yatim akan berada di surga seperti ini,” sambil merapatkan jari telunjuk dan jari tengah (HR. Bukhari). Ini menunjukkan bahwa menyantuni anak yatim bukan sekadar amal baik, melainkan ibadah besar yang mendekatkan pelakunya kepada Nabi di surga.

Setelah ayah meninggal, ada urutan tanggung jawab yang jelas dalam Islam mengenai nafkah anak yatim. Pertama, kakek dari pihak ayah menjadi penanggung jawab utama. Jika kakek telah tiada, tanggung jawab beralih kepada paman dari pihak ayah, lalu saudara laki-laki seayah, dan seterusnya kepada kerabat laki-laki lain yang menjadi wali syar’i. Apabila sang ayah meninggalkan harta warisan, maka kebutuhan anak yatim diambil dari harta tersebut hingga ia baligh, dengan pengelolaan yang amanah dan tidak disalahgunakan.

Namun, bagaimana jika sang ayah tidak memiliki saudara kandung dan anak tersebut adalah anak tunggal? Dalam kondisi ini, nafkah tetap diambil dari harta peninggalan ayah jika ada. Bila tidak ada, kerabat yang lebih jauh dapat menjadi penanggung jawab. Jika semua pihak dari jalur ayah sudah tiada atau tidak mampu, maka tanggung jawab beralih kepada masyarakat Muslim, lembaga zakat, dan negara melalui Baitul Mal atau program bantuan sosial.

Lalu, bagaimana dengan keluarga dari pihak ibu? Secara hukum syariat, keluarga ibu tidak berkewajiban menafkahi anak yatim karena tanggung jawab nafkah berada pada ’ashabah (kerabat laki-laki dari jalur ayah). Namun, mereka sangat dianjurkan untuk membantu secara sukarela. Jika keluarga ibu ditunjuk sebagai wali sah, baik oleh keluarga besar maupun pengadilan, maka mereka berkewajiban secara hukum untuk menafkahi dan menjaga hak anak yatim tersebut.

Tidak hanya keluarga, Islam juga membuka pintu luas bagi siapa saja untuk menyantuni anak yatim. Hukum asalnya adalah sunnah muakkadah, yaitu sangat dianjurkan, namun bisa berubah menjadi wajib jika anak yatim tersebut tidak memiliki penanggung nafkah dan terancam terlantar. Bantuan dapat diberikan secara langsung ataupun melalui lembaga resmi seperti BAZNAS, LAZ, atau yayasan sosial, dengan catatan harus amanah dan menjaga kehormatan anak.

Keutamaan menyantuni anak yatim sangat besar. Selain dekat dengan Rasulullah ? di surga, amalan ini juga dapat melembutkan hati yang keras, menjadi sebab dilapangkannya rezeki, dan penghapus dosa.

 

Kesimpulannya, anak yatim adalah bagian istimewa dari umat yang hak-haknya dilindungi secara tegas oleh syariat. Menjaga, menyayangi, dan membantu mereka bukan hanya kewajiban sosial, tetapi juga jalan menuju ridha Allah dan kedekatan dengan Rasulullah ? di surga. Siapa pun yang mampu, baik dari keluarga maupun orang lain, dianjurkan untuk mengambil peran mulia ini dengan penuh amanah dan kasih sayang.

KABUPATEN BATANG HARI

Copyright © 2025 BAZNAS

Kebijakan Privasi   |   Syarat & Ketentuan   |   FAQ  |   2.2.12